forgiving
Desember sudah hampir selesai. Tahun masehi ini sudah hampir selesai.
Orang-orang sibuk membuat resolusi awal tahun, melakukan
perencanaan-perencanaan yang baru untuk setahun atau mungkin lima tahun ke
depan, menyiapkan diri menyambut tahun baru, dan mungkin hidup baru.
Mereka punya hak untuk itu. Manusia memang suka dan harus membuat
rencana, mewujudkan mimpi. Menuliskannya di atas kertas-kertas kerja yang
tersusun sistematis, lalu disimpan baik-baik di laci meja. Atau mungkin
mengukirkannya di batu-batu kali yang berjejer rapi, kemudian dipakai untuk
fondasi. Mereka punya hak untuk itu, untuk bahagia, untuk merasa sekadar tidak
sengsara.
Semuanya terasa begitu cepat dan semuanya selalu terlambat. Selalu terlambat.
Mengenang yang sudah-sudah hanya membuat semuanya semakin terasa berat.
Hingga kini, saya masih belum mengerti.
Masih belum mampu mengambil hikmah. Masih belum mampu berjalan sendiri.
Masih belum mampu membenahi diri.
Saya masih hancur. Masih berserakan. Belum utuh sepenuhnya. Mungkin ada
pecahan yang hilang sejak kehancuran itu. Hilang, entah terbawa, entah memang
hancur tak tergantikan. Saya masih belajar dalam sendiri, masih belajar kembali
berdiri. Masih belum mampu berlari.
Saya masih marah, masih menggenggam dendam. Tapi kemudian saya lelah,
saya ingin mengalah. Melupakan yang sudah-sudah, melanjutkan hidup dan
menentukan arah. Mengambil langkah, mengangkat kepala dan merasakan matahari
yang hangat dan cerah. Sulit. Saya tak mampu melakukan ini semua sendirian.
Sebelum benar-benar tulus memaafkan.
Ya, Allah, sesulit itukah?
Setiap kali saya berusaha memaafkan, yang terbayang adalah wajah ibu. Wajah
yang menahan sakit tak berkesudahan. Wajah yang mengalirkan air mata darah,
kesedihan yang mengiris, luka yang menganga.
Tapi sesungguhnya Engkau juga yang mengirimkan rasa lelah hingga pada
titik terendahnya, memaafkan bukan lagi merupakan pilihan. Allahuma.
Hey, dad. I’m still here, alive and (I wish that I am) forgiving.
Komentar
Posting Komentar