Ibu dan Hal-hal yang Tak Selesai


 Ayolah, bukan cuma Om Goenawan Mohamad yang  boleh menggunakan 'hal-hal yang tak selesai' sebagai  judul. Toh katanya ini negeri demokrasi yang bebas  merdeka, bebas berkata-kata. Saya cuma takut kalau-kalau  perkara 'hal-hal yang tak selesai' ini melempar saya ke  ruang sidang lantaran dituduh menyontek. Tampaknya Apple sedang membuat tren seperti itu. Kalau sudah begini,  mungkin eyang kakung Darwin sedang menahan tawanya di suatu tempat.
Mungkin Ibu saya tidak ambil pusing dengan perdebatan semacam itu. Saat ini ia mungkin saja sedang nonton acara gosip. Atau acara masak. Atau tidur. Atau membaca buku berisi kumpulan doa sehari-hari dan tuntunan salat lengkap. Atau mungkin juga sedang belajar berjalan tanpa pegangan. Atau  jangan-jangan sudah ke pasar memborong sayuran. Ibu saya hanyalah perempuan biasa dengan pendidikan rendah dan mimpi yang tak pernah tinggi. Ia adalah rekaman kejayaan, penghulu zaman. Ialah sepotong kecantikan yang memudar perlahan. Kain tenunan kualitas prima dengan bungkus perca.

 Hingga saat ini saya belum mampu mengungkap Ibu. Ia juga misteri. Berkepanjangan. Segala hal tentangnya, tak selesai segala perian. Saya meniti tiap jengkalnya perlahan. Hanya keindahan dan kekuatan yang bisa saya temukan. Apa lagi yang harus saya katakan? Toh kata-kata sudah bertumpuk di sana, dalam ruangan luas dunia majemuk,  dalam rentang waktu yang bersinggungan, lurus dan bengkok, di antara portal zaman yang pejal, di sela-sela senyum yang ranum dan tangis yang mengiris.

Ibu adalah kampung halaman. Tanah kelahiran. Tanah yang bercerita tentang suatu hari di mana anak-anak, perempuan dan lelaki, berusaha menapaki padang rumput dengan kaki-kaki mereka sendiri. Ibu mengatakan sesuatu tentang rumput, tentang jati diri. Tentang rumput, tentang ilalang. Tentang tinta, tentang pedang. Tentang cinta, tentang perang. Tentang laut, tentang bintang. Tapi mulutnya tak pernah terbuka ketika ditanya mengapa. 

 Lalu, mengapa?

Dan ketika anak-anak itu, perempuan dan lelaki, tak lagi sudi menapaki rerumput, tak kenal ilalang, tak tahu jalan pulang. Ketika anak-anak itu, perempuan dan lelaki, tak lagi mampu memahami, tak tahu arti, tak peka makna. Ketika anak-anak itu, perempuan dan lelaki, tak lagi mendengar bunyi, tak tahu rasa, tak meraba warna. Ketika anak-anak itu, perempuan dan lelaki, tak lagi bersuara, tak mampu menangkap cahaya-cahaya dan mencium wangi udara. Ketika anak-anak itu, perempuan dan lelaki, memilih mati dalam fana yang sia-sia.
Mungkinkah ini luka para Ibu? Inikah rasanya kegagalan? Pedih seolah siksaan tak berkesudahan. Inikah penyebab jeritan panjang para Ibu di penghujung doanya dalam tiap malam yang tajam? Inikah penyebab kematian mengenaskan para Ibu yang mengalirkan darah dalam tangisnya menahan amarah? Inikah lara, aduan yang disampaikan hamba pada sang tuan dalam panjang sujud tiap-tiap tahajud? Lalu Ibu akan ada di sana. Sendiri menyusun barisan nisan tanpa nama. Mendengungkan serenada kudus. Kidung kesedihan tak berujung. meneteskan air mata hitam sepekat tangisan alam. Mengiris hati para malaikat dan membuat mereka merasakan kesumat. Dalam dan lekat.
Kemudian ia akan pulang. Membawa serta semua pecahan. Segala puji dan harapan. Memilah kenangan, menebang rintihan. Menahan sakit, membalut luka. Dukanya tertahan, terkumpul, dan mengkristal. Ia bercahaya. Memancar tegar menepis habis tepian aral dan pikiranmu yang dangkal.
Ibu adalah jagoan. Ksatria penantang zaman. Bernubuat penuh dan kukuh, berbaju besi menantang api. Ambang semesta yang garang, hunusan pedang. Tapi ia juga hangat mentari. Roncean kasih sayang, sulaman harapan. Ia juga adalah putri. Ratu khayali. Pemilik alam surgawi. Dengan kemilau rambut yang terurai alami, penabur kesturi.  

               
“Aku takluk pada Pemilik Jiwa, sujud pada Penggenggam Nyawa. Ibuku pun sama. Maka kuletakkan kepalaku di bawah kakinya.”            

Komentar

  1. kalo mau kasih jempol gimana caranya gar? hehe

    gw suka banget tulisan ini..

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer